Posisi SN 1979C Di galaksi Bima Sakti
Teleskop Chandra milik NASA menemukan bukti bahwa ada lubang hitam (black hole) di kawasan jagat raya kita. Dari bukti yang didapat, diperkirakan lubang hitam tersebut baru berusia 30 tahun.
NASA menyatakan, penemuan ini memberi secercah harapan untuk mengetahui bagaimana sebuah bintang raksasa meledak dan meninggalkan lubang hitam di sejumlah galaksi, termasuk di Bimasakti.
Lubang hitam berusia 30 tahun yang diberi nama SN 1979C itu berjarak sekitar 50 juta tahun cahaya dari Bumi. “Jika interpretasi kami tepat, ini merupakan contoh kelahiran lubang hitam paling dekat yang pernah diamati,” kata Daniel Patnaude, astronom dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics yang mengetuai penelitian.
Seperti dikutip dari TG Daily, 17 November 2010, data dari berbagai sumber menyatakan bahwa ada sumber sinar X terang yang stabil sejak 1995 sampai 2007. Kesimpulan NASA, sumber itu merupakan lubang hitam yang sedang memakan material yang ia hisap ke dalamnya.
Tim peneliti yakin bahwa SN 1979C, yang pertamakali ditemukan oleh para astronom amatir pada tahun 1979 lalu, terbentuk saat sebuah bintang yang berukuran 20 kali lebih besar dari matahari hancur.
“Meski demikian, sangat sulit untuk mendeteksi kelahiran lubang hitam seperti ini karena membutuhkan pengamatan sinar X selama beberapa dekade,” ucap Abraham Loeb, peneliti lain dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics.
Walaupun NASA mengenali objek ini sebagai lubang hitam, ada kemungkinan pula bahwa objek yang memancarkan sinar X tersebut merupakan bintang neutron muda yang berputar sangat cepat dengan angin kencang yang terdiri dari partikel energi tinggi.
Jika benar demikian, maka ini akan menjadikan SN 1979C sebagai contoh ‘angin pulsar nebula’ yang paling muda dan paling terang serta bintang neutron termuda yang pernah diketahui.
►►►Black Hole Kanibal◄◄◄
Dulu para peneliti mengatakan adalah mustahil sebuah lubang hitam bisa melahap lubang hitam lainnya di antariksa. Namun, kini teka-teki itu terjawab sudah. Baru-baru ini para peneliti menganalisa lubang hitam kanibal, yang bisa memakan lubang hitam lainnya yang berukuran lebih kecil.
“Saat dua lubang hitam bertabrakan, pada skenario astrofisika sebenarnya, mereka memiliki ukuran yang tidak sama,” kata Carlos Lousto, peneliti Center for Computational Relativity and Gravitation, Rochester Institute of Technology, kepada Discovery News.
Bahkan para peneliti berhasil membuat simulasi kondisi yang sangat ekstrim, ketika sebuah lubang hitam besar yang berukuran masif, memangsa lubang hitam lain yang berukuran ratusan kali lebih kecil darinya.
Sebelumnya, para peneliti hanya berhasil menganalisa lubang hitam yang dapat melahap lubang hitam lain yang memiliki massa yang 10 kali lipat lebih kecil. “Pada beberapa bulan ke depan, saya pikir kami akan bisa menghadirkan solusi lebih besar, dengan perbandingan massa dua lubang hitam 1000:1,” kata Lousto.
Bagaimanapun, kata Lousto, ini merupakan masalah yang rumit. Sebab analisa seperti ini musti dilakukan oleh sebuah superkomputer. “Kami memerlukan resource superkomputer yang sangat besar.”
Untuk analisa yang paling mutakhir saja, Lousto dan kawan-kawannya menggunakan superkomputer di Texas Advanced Computing Center yang menggunakan 70 ribu unit prosesor. Simulasi itupun baru bisa diselesaikan setelah hampir 3 bulan.
Menurut rekan peneliti Lousto, Yosef Zlochower, simulasi lubang hitam kanibal ini bisa dibilang sangat penting, karena ini bisa menjembatani kesenjangan dua pendekatan riset yang sangat berbeda.
Yang pertama yang mulai melakukan pendekatan tubrukan dua lubang hitam yang berukuran sama, yang kedua, yang melakukan pendekatan tabrakan antara dua lubang hitam yang berukuran 1000:1. Hasil penelitian Lousto dan Zlochower telah didaftarkan untuk dipublikasikan pada journal Physical Review Letters.
Peristiwa saling memangsanya dua lubang hitam, bisa dideteksi dari gelombang gravitasi yang sangat intens. AS memiliki dua instrumen yang berusaha mendeteksi gelombang gravitasi tersebut, yakni melalui Laser Interferometer Gravitational Wave Observatory (LIGO) yang berbasis di bumi, serta Laser Interferometer Space Antenne (LISA) yang dijalankan oleh NASA.