Tampilkan postingan dengan label teori. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori. Tampilkan semua postingan

MENGENAI WARNA [alasan benda dapat bewarna]

Jika suatu benda dapat memancarkan cahaya dan benda tersebut memancarkan gelombang cahaya berwarna merah, maka benda tersebut akan terlihat berwarna merah. Sedangkan jika suatu benda tidak dapat memancarkan cahaya, maka benda tersebut akan terlihat berwarna sesuai dengan spektrum warna yang dipantulkan benda tersebut. Sementara itu, spektrum warna yang tidak dipantulkan akan diserap oleh atom atau molekul penyusun benda tersebut. Sebagai contoh, jika disinari dengan sinar berwarna putih, daun akan memantulkan spektrum warna hijau menyerap cahaya selain spektrum warna hijau tersebut sehingga daun terlihat berwarna hijau.


Lalu mengapa suatu atom atau molekul menyerap cahaya tertentu? Penyerapan hanya terjadi jika energi foton yang datang cocok dengan energi yang diperlukan untuk memindahkan satu elektron paling luar atom atau molekul tersebut dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi (atau dari pita valensi ke pita konduksi di dalam zat padat). Jadi penyerapan spektrum warna oleh atom atau molekul penyusun suatu benda yang menyebabkan benda tersebut memantulkan warna tertentu saja. Spektrum warna yang yang tidak diserap, akan dipantulkan. Dan spektrum warna yang dipantulkan inilah yang terlihat oleh mata, dan membuat benda tersebut menjadi berwarna.

Air Pun Ternyata Memiliki Warna

Lalu mengapa ada benda yang bening alias tidak berwarna seperti air. Tetapi, ternyata air dan benda-benda bening lainnya sebenarnya memiliki warna. Perlu diketahui bahwa warna air adalah biru, karena air menyerap gelombang cahaya matahari (yang terdiri dari tujuh elemen warna). Molekul-molekul air ini kemudian menyerap warna-warna itu dan memantulkan spektrum warna biru, dan itulah yang terlihat oleh mata kita.

Namun kita tidak mungkin dapat melihat warna biru air itu hanya pada segelas air atau satu ember air saja. Karena lapisan air di gelas tidak menyerap dan memantulkan cukup spektrum warna yang datang kepadanya, sehingga air tidak bisa menunjukkan warna biru aslinya. Lain halnya bila kita melihat ke dalam kolam berenang atau bahkan lautan luas. Air akan memantulkan spektrum warna biru dan menyerap spektrum warna lainnya sehingga air tampak berwarna biru.


Dengan ini maka jelaslah mengapa air laut atau air pada kolam renang berwarna biru. Namun, disamping warna biru yang dipantulkan air itu sendiri, lautan juga mengandung banyak sekali partikel-partikel lainnya. Mulai dari ikan, karang, plankton, dan sebagainya. Ada juga zat organik yang terlarut di dalam air. Materi-materi ini lah yang menyebabkan penyerapan cahaya matahari sehingga hanya menyisakan warna biru gelap bagi lautan. Selain itu, pantulan warna biru langit pada air juga turut memberi peranan terhadap birunya warna air laut.

Langit Tampak Berwarna Biru dan Matahari Tampak Berwarna Kuning

Warna biru itu sendiri sebenarnya berasal dari cahaya matahari yang memiliki panjang gelombang yang besar. Ketika memasuki atmosfer Bumi, panjang gelombang tersebut akan mengecil dan memencar. Panjang gelombang yang baru ini besarnya sama dengan panjang gelombang warna biru sehingga langit terlihat berwarna biru. Sebenarnya, peristiwa ini mirip dengan masuknya cahaya melalui prisma. Cahaya yang masuk akan terbias menjadi beberapa warna utama: ungu, nila, biru, hijau, kuning, jingga dan merah. Warna ungu memiliki panjang-gelombang tertinggi, dan warna merah terkecil, sehingga muncul istilah ultra-ungu dan infra-merah.

Cahaya matahari sendiri sebenarnya berwarna putih. Cahaya putih itu sendiri merupakan gabungan dari berbagai energi gelombang. Lalu mengapa matahari tampak berwarna kuning di mata kita? Hal ini disebabkan karena terbiasnya gelombang warna biru di atmosfer seperti dijelaskan di atas sehingga gabungan gelombang warna yang tersisa tampak dengan warna kuning.

Pembagian Warna

Warna primer
Merupakan warna dasar yang tidak merupakan campuran dari warna-warna lain. Warna yang termasuk dalam golongan warna primer adalah merah, biru, dan kuning.

Warna sekunder
Merupakan hasil pencampuran warna-warna primer dengan proporsi 1:1. Misalnya warna jingga merupakan hasil campuran warna merah dengan kuning, hijau adalah campuran biru dan kuning, dan ungu adalah campuran merah dan biru.

Warna tersier
Merupakan campuran salah satu warna primer dengan salah satu warna sekunder. Misalnya warna jingga kekuningan didapat dari pencampuran warna kuning dan jingga.

Warna netral
Warna netral merupakan hasil campuran ketiga warna dasar dalam proporsi 1:1:1. Warna ini sering muncul sebagai penyeimbang warna-warna kontras di alam. Biasanya hasil campuran yang tepat akan menuju hitam.





suber:kaskus.us


tentang fisika


Orang yang beranggapan sains membosankan, mereka salah. Berikut 10 alasan mengapa sains tak membosankan.

Menurut penulis We Need to Talk About Kevin, Marcus Crown, berikut 10 fakta fisika aneh itu:

1. Jika matahari terbuat dari pisang.
Matahari panas karena beratnya yang luar biasa, sekitar bermiliar-miliar ton dan membuatnya menjadi inti tekanan kolosal. Tekanan besar menimbulkan temperatur besar. Jika matahari terbuat dari pisang, maka beratnya akan bermiliar-miliar ton dan memiliki efek yang sama dengan matahari.

2. Semua materi pembuat ras manusia dapat masuk dalam kotak gula.
Atom merupakan 99,9999999999999999% ruang kosong. Jika semua atom dipaksa bersatu dan menghilangkan ruang di antaranya seperti kotak gula, maka massanya sekitar 10 kali massa manusia hidup. Hal ini serupa yang terjadi pada bintang netron, massa super padat peninggalan supernova.

3. Peristiwa di masa depan dapat mempengaruhi peristiwa di masa lalu.
Keanehan dunia kuantum didokumentasikan. Tetapi keanehan itu semakin aneh. Menurut eksperimen fisikawan John Wheeler dan peneliti lain pada 2007, perubahan partikel masa kini dapat mengubah partikel pada masa lalu.

4. Hampir sebagian besar semesta menghilang
Kemungkinan terdapat lebih dari 100 miliar galaksi di kosmos. Setiap galaksi memiliki 10 juta bintang. Matahari kita memiliki berat bermiliar-miliar ton. Materi ini merupakan materi terlihat di semesta.

Materi lain disebut 'materi gelap'. Materi ini masih butuh penjelasan dan tampaknya materi ini merupakan perluasan semesta.

5. Benda dapat bergerak lebih cepat dari cahaya.
Kecepatan cahaya konstan pada ruang hampa adalah 300 ribu km/detik, dan cahaya tak selalu melewati ruang hampa. Dalam air, foton bergerak sepertiga kecepatan awal. Dalam reaktor nuklir, beberapa partikel dipaksa bergerak dalam kecepatan tinggi bahkan lebih cepat dari cahaya.

6. Ada jumlah tak terbatas saat menulis dan membaca
Menurut standar model kosmologi saat ini, jumlah semesta yang dapat dihitung pun tak ada batasnya seperti buih. Namun, jumlah kemungkinan sejarah terbatas karena jumlah peristiwa terjadi juga terbatas.

7. Lubang Hitam tidak hitam
Lubang hitam memang sangat gelap, tapi tak hitam. Mereka bersinar dan memberi sedikit spektrum cahaya, temasuk cahaya yang dapat dilihat.

8. Penjelasan mendasar dari semesta tak termasuk masa lalu, kini atau masa depan
Menurut teori relativitas, tak ada hal seperti masa kini atau masa depan atau masa lalu. Bingkai waktu sangat relatif. Waktu kita sama karena kita bergerak pada kecepatan yang sama. Jika kita bergerak pada kecepatan berbeda, kita akan menemukan bahwa kita menua lebih cepat.

9. Partikel dapat mempengaruhi sisi lain semesta dalam sekejab
Ketika elektron bertemu kembaran antimateri, keduanya akan hancur dalam kilatan energi dan dua foton akan terbang dari ledakan itu.

Kembaran itu akan mulai berputar pada arah sebaliknya, dan secara instan kembaran di sisi lain semesta juga ikut berputar.

10. Semakin cepat bergerak, semakin berat
Jika Anda berlari dengan cepat, berat Anda akan bertambah. Tak permanen, tapi secara sesaat akan menambah sedikit berat. Menurut teori relativitas, massa dan energi adalah sama. Semakin banyak energi yang dikeluarkan, semakin berat massanya.

Paradox






Kalian sudah tahu apa itu paradox, bukan?
Ini ada beberapa list problem paradox, problem yang tidak bisa dipecahkan:
1. Dilema buaya
Ada seekor buaya menculik seorang anak, kemudian dia berjanji pada ayah dari anak tersebut bahwa dia akan mengembalikan anak tersebut jika sang ayah berhasil menebak apa yang akan dilakukan buaya tersebut. Kira-kira apakah yang terjadi jika sang ayah menebak demikian: "Kau tidak akan mengembalikan anakku"

paradoks dimulai di sini. Kalau tebakan sang ayah benar, bahwa buaya tidak akan mengembalikan anak tersebut, maka buaya harus mengembalikan anak tersebut dan itu membuat tebakan sang ayah menjadi salah.

jika tebakan sang ayah salah, maka kondisi yang mungkin adalah buaya akan mengembalikan anak tersebut, tapi ini tidak memungkinkan karena jika dia mengembalikan anak tersebut maka buaya melanggar rulenya dengan mengembalikan anak walaupun tebakan sang ayah salah.

2. Paradox berlawanan
Coba pikirkan baik-baik kata-kata, "Kalimat ini salah", atau, "Aku sedang berbohong". Secara logika kalimat ini tidak mengandung penyelesaian, coba saja di kalimat "Aku sedang berbohong", kita tidak dapat menyimpulkan dia sedang berbohong, karena kalau begitu maka seharusnya kalimat berbunyi, "saya bicara jujur" dan juga kita tidak dapat menyimpulkan dia jujur karena kata-kata tersebut jelas tertulis "Sedang Berbohong".

3. Paradox time travel 1
Jika suatu saat ada yang namanya mesin waktu, dan kamu menerima sebuah pemberian yang berasal dari dirimu di masa depan, lantas darimana benda itu berasal?

4. Paradox time travel 2
Jika suatu saat ada yang namanya mesin waktu dan kamu menjelajah waktu ke masa lalu dan secara tidak sengaja kamu membunuh kakekmu, lantas darimana kamu lahir?

5. Paradox Infinity 1
Jika kamu punya sebuah roti dan dalam waktu setengah jam sekali kamu memakan roti tersebut 1/2 bagian, berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menghabiskan roti tersebut? jawab: roti tersebut tidak akan pernah habis!
setengah jam pertama: makan 1/2, roti tinggal 1/2
setengah jam kedua : makan 1/2, roti tinggal 1/4
setengah jam ketiga : makan 1/2, roti tinggal 1/8
setengah jam keempat : makan 1/2, roti tinggal 1/16
setengah jam kelima : makan 1/2, roti tinggal 1/32

dan seterusnya...

6. Paradox Infinity 2
Seorang prajurit berlari dengan kecepatan 3 m/detik dipanah dari belakang dengan anak panah yang berkecepatan 50 m/detik. Jarak prajurit dengan pemanah 100 m. Menurut logika, mestinya prajurit itu kena panah, tapi apa yang teori paradox katakan?
"anak panah tidak bisa mengenai prajurit tersebut!"
bukti:
pada saat anak panah melesat sejauh 50 m, prajurit sudah maju sejauh 3 m, jarak mereka sekarang 53 m
pada saat anak panah melesat sejauh 26.5 m, prajurit sudah maju sejauh 1.59 m, jarak mereka sekarang 28.09 m
pada saat anak panah melesat sejauh 14.045 m, prajurit sudah maju sejauh 0.8427 m, jarak mereka sekarang 14.8877 m

dan seterusnya...kalo diteruskan pake logika paradox kaya di atas, jarak prajurit dan panah memang semakin berkurang, tapi tidak akan 0, alias panah itu tidak akan sampai.

macam macam teori atom

Model Atom Modern

Model atom mekanika kuantum dikembangkan oleh Erwin Schrodinger (1926).Sebelum Erwin Schrodinger, seorang ahli dari Jerman Werner Heisenberg mengembangkan teori mekanika kuantum yang dikenal dengan prinsip ketidakpastian yaitu “Tidak mungkin dapat ditentukan kedudukan dan momentum suatu benda secara seksama pada saat bersamaan, yang dapat ditentukan adalah kebolehjadian menemukan elektron pada jarak tertentu dari inti atom”.
Erwin SchrodingerErwin Schrodinger
Werner HeisenbergWerner Heisenberg
Daerah ruang di sekitar inti dengan kebolehjadian untuk mendapatkan elektron disebut orbital. Bentuk dan tingkat energi orbital dirumuskan oleh Erwin Schrodinger.Erwin Schrodinger memecahkan suatu persamaan untuk mendapatkan fungsi gelombang untuk menggambarkan batas kemungkinan ditemukannya elektron dalam tiga dimensi.
Persamaan Schrodinger
persamaan

x,y dan z
Y
m
ђ
E
V
= Posisi dalam tiga dimensi
= Fungsi gelombang
= massa
= h/2p dimana h = konstanta plank dan p = 3,14
= Energi total
= Energi potensial
Model atom dengan orbital lintasan elektron ini disebut model atom modern atau model atom mekanika kuantum yang berlaku sampai saat ini, seperti terlihat pada gambar berikut ini.
model atom
Model atom mutakhir atau model atom mekanika gelombang
Awan elektron disekitar inti menunjukan tempat kebolehjadian elektron. Orbital menggambarkan tingkat energi elektron. Orbital-orbital dengan tingkat energi yang sama atau hampir sama akan membentuk sub kulit. Beberapa sub kulit bergabung membentuk kulit.Dengan demikian kulit terdiri dari beberapa sub kulit dan subkulit terdiri dari beberapa orbital. Walaupun posisi kulitnya sama tetapi posisi orbitalnya belum tentu sama.
CIRI KHAS MODEL ATOM MEKANIKA GELOMBANG
  1. Gerakan elektron memiliki sifat gelombang, sehingga lintasannya (orbitnya) tidak stasioner seperti model Bohr, tetapi mengikuti penyelesaian kuadrat fungsi gelombang yang disebut orbital (bentuk tiga dimensi darikebolehjadian paling besar ditemukannya elektron dengan keadaan tertentu dalam suatu atom)
  2. Bentuk dan ukuran orbital bergantung pada harga dari ketiga bilangan kuantumnya. (Elektron yang menempati orbital dinyatakan dalam bilangan kuantum tersebut)
  3. Posisi elektron sejauh 0,529 Amstrong dari inti H menurut Bohr bukannya sesuatu yang pasti, tetapi bolehjadi merupakan peluang terbesar ditemukannya elektron

Percobaan chadwick

percobaan Chadwick

Kelemahan Model Atom Modern

Persamaan gelombang Schrodinger hanya dapat diterapkan secara eksak untuk partikel dalam kotak dan atom dengan elektron tunggal

Model Atom Dalton

John Dalton


Pada tahun 1803, John Dalton mengemukakan mengemukakan pendapatnaya tentang atom. Teori atom Dalton didasarkan pada dua hukum, yaitu hukum kekekalan massa (hukum Lavoisier) dan hukum susunan tetap (hukum prouts). Lavosier mennyatakan bahwa "Massa total zat-zat sebelum reaksi akan selalu sama dengan massa total zat-zat hasil reaksi". Sedangkan Prouts menyatakan bahwa "Perbandingan massa unsur-unsur dalam suatu senyawa selalu tetap". 
Dari kedua hukum tersebut Dalton mengemukakan pendapatnya tentang atom sebagai berikut:
  1. Atom merupakan bagian terkecil dari materi yang sudah tidak dapat dibagi lagi
  2. Atom digambarkan sebagai bola pejal yang sangat kecil, suatu unsur memiliki atom-atom yang identik dan berbeda untuk unsur yang berbeda
  3. Atom-atom bergabung membentuk senyawa dengan perbandingan bilangan bulat dan sederhana. Misalnya air terdiri atom-atom hidrogen dan atom-atom oksigen
  4. Reaksi kimia merupakan pemisahan atau penggabungan atau penyusunan kembali dari atom-atom, sehingga atom tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.
Hipotesa Dalton digambarkan dengan model atom sebagai bola pejal seperti pada tolak peluru. Seperti gambar berikut ini:model atom dalton



Model Atom Dalton seperti bola pejal

Percobaan Lavosier

sketsa alat percobaan laovosier
Mula-mula tinggi cairan merkuri dalam wadah yang berisi udara adalah A, tetapi setelah beberapa hari merkuri naik ke B dan ketinggian ini tetap. Beda tinggi A dan B menyatakan volume udara yang digunakan oleh merkuri dalam pembentukan bubuk merah (merkuri oksida). Untuk menguji fakta ini, Lavoisier mengumpulkan merkuri oksida, kemudian dipanaskan lagi. Bubuk merah ini akan terurai menjadi cairan merkuri dan sejumlah volume gas (oksigen) yang jumlahnya sama dengan udara yang dibutuhkan dalam percobaan pertama
Percobaan Joseph Pruost
Pada tahun 1799 Proust menemukan bahwa senyawa tembaga karbonat baik yang dihasilkan
melalui sintesis di laboratorium maupun yang diperoleh di alam memiliki susunan yang tetap.
Percobaanke-
Sebelumpemanasan (g Mg)
Setelahpemanasan (g MgO)
PerbandinganMg/MgO
1
0,62
1,02
0,62/1,02 = 0,61
2
0,48
0,79
0,48/0,79 = 0,60
3
0,36
0,60
0,36/0,60 = 0,60

Kelemahan Model Atom Dalton

Kelebihan 
Mulai membangkitkan minat terhadap penelitian mengenai model atom
Kelemahan
Teori atom Dalton tidak dapat menerangkan suatu larutan dapat menghantarkan arus listrik. Bagaimana mungkin bola pejal dapat menghantarkan arus listrik? padahal listrik adalah elektron yang bergerak. Berarti ada partikel lain yang dapat menghantarkan arus listrik.

Model Atom Thomson

Thomson



Berdasarkan penemuan tabung katode yang lebih baik oleh 
William Crookers, maka J.J. Thomson meneliti lebih lanjut tentang sinar katode dan dapat dipastikan bahwa sinar katode merupakan partikel, sebab dapat memutar baling-baling yang diletakkan diantara katode dan anode. Dari hasil percobaan ini, Thomson menyatakan bahwa sinar katode merupakan partikel penyusun atom (partikel subatom) yang bermuatan negatif dan selanjutnya disebut elektron.
Atom merupakan partikel yang bersifat netral, oleh karena elektron bermuatan negatif, maka harus ada partikel lain yang bermuatan positifuntuk menetrallkan muatan negatif elektron tersebut. Dari penemuannya tersebut, Thomson memperbaiki kelemahan dari teori atom dalton dan mengemukakan teori atomnya yang dikenal sebagai Teori Atom Thomson.
Yang menyatakan bahwa:
"Atom merupakan bola pejal yang bermuatan positif dan didalamya tersebar muatan negatif elektron"
Model atomini dapat digambarkan sebagai jambu biji yang sudah dikelupas kulitnya. biji jambu menggambarkan elektron yang tersebar marata dalam bola daging jambu yang pejal, yang pada model atom Thomson dianalogikan sebagai bola positif yang pejal. Model atom Thomson dapat digambarkan sebagai berikut:
model atom thomson



Percobaan Sinar Katode

tabung sinar katode

Kelebihan dan Kelemahan Model Atom Thomson

Kelebihan
Membuktikan adanya partikel lain yang bermuatan negatif dalam atom. Berarti atom bukan merupakan bagian terkecil dari suatu unsur.
Kelemahan
Model Thomson ini tidak dapat menjelaskan susunan muatan positif dan negatif dalam bola atom tersebut.



Model Atom Rutherford

Rutherford

Rutherford bersama dua orang muridnya (
Hans Geigerdan Erners Masreden)melakukan percobaan yang dikenal dengan hamburan sinar alfa (λ) terhadap lempeng tipis emas. Sebelumya telah ditemukan adanya partikel alfa, yaitu partikel yang bermuatan positif dan bergerak lurus, berdaya tembus besar sehingga dapat menembus lembaran tipis kertas. Percobaan tersebut sebenarnya bertujuan untuk menguji pendapat Thomson, yakni apakah atom itu betul-betul merupakan bola pejal yang positif yang bila dikenai partikel alfa akan dipantulkan atau dibelokkan. Dari pengamatan mereka, didapatkan fakta bahwa apabila partikel alfa ditembakkan pada lempeng emas yang sangat tipis, maka sebagian besar partikel alfa diteruskan (ada penyimpangan sudut kurang dari 1°), tetapi dari pengamatan Marsden diperoleh fakta bahwa satu diantara 20.000 partikel alfa akan membelok sudut 90° bahkan lebih.
Berdasarkan gejala-gejala yang terjadi, diperoleh beberapa kesipulan beberapa berikut:
  1. Atom bukan merupakan bola pejal, karena hampir semua partikel alfa diteruskan
  2. Jika lempeng emas tersebut dianggap sebagai satu lapisanatom-atom emas, maka didalam atom emas terdapat partikel yang sangat kecil yang bermuatan positif.
  3. Partikel tersebut merupakan partikelyang menyusun suatu inti atom, berdasarkan fakta bahwa 1 dari 20.000 partikel alfa akan dibelokkan. Bila perbandingan 1:20.000 merupakan perbandingan diameter, maka didapatkan ukuran inti atom kira-kira 10.000 lebih kecil daripada ukuran atom keseluruhan.
Berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan dari percobaan tersebut, Rutherford mengusulkan model atom yang dikenal dengan Model Atom Rutherford yang menyatakan bahwa Atom terdiri dari inti atom yang sangat kecil dan bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron yang bermuatan negatif. Rutherford menduga bahwa didalam inti atom terdapat partikel netral yang berfungsi mengikat partikel-partikel positif agar tidak saling tolak menolak.
Model atom Rutherford dapat digambarkan sebagai beriukut:
Model Atom Rutherford





 

Percobaan Rutherford

set alat percobaan rutherford

Kelemahan Model Atom Rutherford

Kelebihan
Membuat hipotesa bahwa atom tersusun dari inti atom dan elektron yang mengelilingi inti
Kelemahan 
Tidak dapat menjelaskan mengapa elektron tidak jatuh ke dalam inti atom. Berdasarkan teori fisika, gerakan elektron mengitari inti ini disertai pemancaran energi sehingga lama - kelamaan energi elektron akan berkurang dan lintasannya makin lama akan mendekati inti dan jatuh ke dalam inti Ambilah seutas tali dan salah satu ujungnya Anda ikatkan sepotong kayu sedangkan ujung yang lain Anda pegang. Putarkan tali tersebut di atas kepala Anda. Apa yang terjadi? Benar. Lama kelamaan putarannya akan pelan dan akan mengenai kepala Anda karena putarannya lemah dan Anda pegal memegang tali tersebut. Karena Rutherford adalah telah dikenalkan lintasan/kedudukan elektron yang nanti disebut dengan kulit.

Model Atom Bohr

bohr
Pada tahun 1913, pakar fisika Denmark bernama Neils Bohr memperbaiki kegagalan atom Rutherford melalui percobaannya tentang spektrum atom hidrogen. Percobaannya ini berhasil memberikan gambaran keadaan elektron dalam menempati daerah disekitar inti atom. Penjelasan Bohr tentang atom hidrogen melibatkan gabungan antara teori klasik dari Rutherford dan teori kuantum dari Planck, diungkapkan dengan empat postulat, sebagai berikut:
  1. Hanya ada seperangkat orbit tertentu yang diperbolehkan bagi satu elektron dalam atom hidrogen. Orbit ini dikenal sebagai keadaan gerak stasioner (menetap) elektron dan merupakan lintasan melingkar disekeliling inti.
  2. Selama elektron berada dalam lintasan stasioner, energi elektron tetap sehingga tidak ada energi dalam bentuk radiasi yang dipancarkan maupun diserap.
  3. Elektron hanya dapat berpindah dari satu lintasan stasioner ke lintasan stasioner lain. Pada peralihan ini, sejumlah energi tertentu terlibat, besarnya sesuai dengan persamaan planck, ΔE = hv.
  4. Lintasan stasioner yang dibolehkan memilki besaran dengan sifat-sifat tertentu, terutama sifat yang disebut momentum sudut. Besarnya momentum sudut merupakan kelipatan dari h/2∏ atau nh/2∏, dengan n adalah bilangan bulat dan h tetapan planck.
Menurut model atom bohr, elektron-elektron mengelilingi inti pada lintasan-lintasan tertentu yang disebut kulit elektron atau tingkat energi. Tingkat energi paling rendah adalah kulit elektron yang terletak paling dalam, semakin keluar semakin besar nomor kulitnya dan semakin tinggi tingkat energinya.
model atom bohr






 

Percobaan Bohr

percobaan yang dialkukan rutherford

Kelebihan dan Kelemahan

Kelebihan
atom Bohr adalah bahwa atom terdiri dari beberapa kulit untuk tempat berpindahnya elektron.
Kelemahan
model atom ini adalah tidak dapat menjelaskan efek Zeeman dan efek Strack






susunan berkala unsur


kalau belum jelas
langsung kesini klik ini






teori asam basa

      Asam dan Basa merupakan dua golongan zat kimia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan sifat asam Basa, larutan dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu bersifat asam, bersifat basa, dan bersifat netral. Asam dan Basa memiliki sifat-sifat yang berbeda, sehingga dapat kita bisa menentukan sifat suatu larutan. Untuk menentukan suatu larutan bersifat asam atau basa, ada beberapa cara. Yang pertama menggunakan indikator warna, yang akan menunjukkan sifat suatu larutan dengan perubahan warna yang terjadi. Misalnya Lakmus, akan berwarna merah dalam larutan yang bersifat asam dan akan berwarna biru dalam larutan yang bersifat basa. Sifat asam basa suatu larutan juga dapat ditentukan dengan mengukur pH-nya. pHmerupakan suatu parameter yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman larutan. Larutan asam memiliki pH kurang dari 7, larutan basa memiliki pH lebih dari 7, sedangkan larutan netral memiliki pH=7. pH suatu larutan dapat ditentukan dengan indikator pH atau dengan pH meter.
      Teori Asam-Basa Arrhenius

      Sejak berabad-abad yang lalu, pakar kimia mendefinisikan asam dan basa berdasar sifat larutannya. Larutan asam memiliki rasa masam dan bersifat korosif (merusak logam, marmer, dan berbagai bahan lain). sedangkan basa berasa agak pahit dan bersifat kaustik ( licin).
      Namun ada beberapa pendapat yang menjelaskan penyebab sifat asam dan basa. Pada tahun 1777, Antoine Laurent Lavoisier (1743-1794) mengemukakan bahwa asam mengandung unsur oksigen. Davy kemudian menyimpulkan bahwa unsur hidrogenlah yang merupakan unsur dasar asam. Kemudian tahun 1814 Joseph Louis Gay-Lussac (1778-1850) menyimpulkan bahwa asam adalah suatu zat yang dapat menetralkan alkali dan kedua golongan senyawa itu hanya dapat didefinisikan dalam kaitan satu dengan yang lain.
      Namun konsep/pendapat yang cukup memuaskan, dan dapat diterima hingga saat ini dikemukakan oleh Svante August Arrhenius (1859-1927), yaitu :
    • asam
    asam adalah zat yang dalam air melepaskan ion H+. dengan kata lain, pembawa sifat asam adalah ion H+. dan dirumuskan dengan
    HxZ(aq)---------»xH+(aq) + Zx-(aq)

  • basa
basa adalah zat yang dalam air menghasilkan ion hidroksida (OH-). dengan kata lain, pembawa sifat basa adalah (OH-). dan dirumuskan dengan

M(OH)x(aq)---------»Mx+(aq) + xOH-(aq)



teori revolusi permanen

Dalam krisis politik di Indonesia selama 4-5 tahun ini telah bermuncul perdebatan-perdebatan yang luas dan kaya tentang strategi dan taktik mana yang bisa memajukan perjuangan rakyat untuk melawan penindasan dan penghisapan. Di antaranya kita sering memperdebatkan masalah revolusi; apakah sebuah revolusi diperlukan, dan apakah sifat-sifat revolusi tersebut. Konsep yang paling umum di kalangan revolusioner adalah strategi “revolusi demokratik” yang dianggap harus mendahului revolusi sosialis, kadang-kadang dengan referensi tulisan Lenin “Dua Taktik Sosial-Demokrasi Dalam Revolusi Demokratik”.
Kami sudah menyinggung masalah ini dalam teks “Dua Taktik Atau Strategi Sosialis Revolusioner” dan dalam beberapa tulisan lain, tetapi belum secara menyeluruh. Sekarang kita kembali ke topik tersebut dengan argumentasi lebih lanjut. Teks ini akan mengulangi beberapa rumusan yang sudah dimuat dalam bahan lain, dengan konteks yang sedikit berbeda.
Pandangan Marx tentang perkembangan revolusioner
Setiap perkembangan sosial harus melalui berbagai tahapan. Sosialisme hanya mungkin berdasarkan produktivas kerja yang tinggi, dan produktivitas tinggi tersebut adalah sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi secara dahsyat yang dijalankan oleh kapitalisme. Selain itu, kapitalisme menimbulkan kelas buruh, serta menerapkan demokrasi parlementer dan menciptakan kondisi di mana kelas buruh itu bisa berorganisir dan berjuang. Sehingga di tingkat global, umat manusia jelas harus melewati tahap kapitalis (yang sekaligus merupakan tahap demokratis-borjuis) sebelum masyarakat sosialis dapat tercapai.
Dalam karya Marx kita sering mendapati asumsi bahwa revolusi sosialis harus didahului oleh revolusi borjuis, yang juga disebut sebagai revolusi demokratik. Bukan karena sosialisme tidak demokratik. Sebaliknya, sistem sosialis akan membawa demokrasi ke semua pelosok masyarakat, terutama ke tempat kerja. Namun di masa Marx, penguasaan kelas borjuis memang untuk pertama kalinya menimbulkan demokrasi (walau secara terbatas). Di negeri seperti Inggeris dan Perancis demokrasi tersebut membuka jalan untuk perkembangan gerakan buruh.
Seperti dijelaskan oleh John Rees:
Sebelum pecahnya revolusi 1848, Marx dan Engels telah jelas dalam dua hal. Yang pertama, bahwa revolusi yang akan datang adalah revolusi borjuis yang akan bermuara pada suatu negara kapitalis, dengan harapan negara itu akan mengambil bentuk dari sebuah republik demokratis. Yang kedua, bahwa kaum borjuasi harus didorong kepada suatu penyelesaian yang menentukan dengan sistem yang lama, karena pertumbuhan kekuatan dari kelas pekerja membuat mereka takut bahwa mengobarkan kekuatan yang penuh dari revolusi akan menyapu mereka ke pinggir bersama-sama dengan negara feodal. Untuk Marx dan Engels, revolusi di Jerman akan “dilaksanakan di bawah kondisi peradaban Eropa yang jauh lebih maju, dan dengan lebih banyak jumlah proletariat yang sudah berkembang, daripada di Inggeris pada abad ke tujuh belas, dan Perancis pada abad ke delapan belas” dan oleh karena itu akan menjadi “pembukaan kepada revolusi proletariat yang akan menyusul sebentar lagi.”
Dengan demikian di dalam tahap awal revolusi, Marx dan Engels berjuang sebagai sayap yang paling kiri dari revolusi demokratik. Tetapi Manifesto Komunis, yang ditulis sebelum pecahnya revolusi, sudah menyerukan bahwa walaupun kelas buruh harus “berjuang dengan kaum borjuis, selama mereka bertindak dalam cara yang revolusioner” kaum sosialis harus juga “menanamkan kepada kelas buruh pengenalan sejelas-jelasnya mengenai pertentangan yang antagonistik antara borjuasi dan proletariat”. Pendekatan Marx dan Engels pada saat permulaan revolusi adalah “untuk memacu kaum borjuis dari basis kiri yang independen, mengorganisir kelas bawah terpisah dari kaum borjuis untuk menyerang secara serempak rezim yang lama, dan untuk menyiapkan blok proletariat, borjuis kecil dan petani yang demokratis ini untuk melangkah secara sementara ke dalam barisan pelopor, apabila kaum borjuis memberikan tanda-tanda ketakutannya, dengan analogi pemerintahan Jacobin di Perancis pada tahun 1793-4.”
Pendek kata: Marx dan Engels mengharapkan revolusi borjuis-demokratik, sekaligus yang sama memperingatkan kaum buruh agar mereka mengambil sikap independen dari kelas borjuis. Sikap mereka itu berubah secara berarti ketika revolusi 1848 berkembang.
Selama tiga bulan pertama dari revolusi Jerman, kelihatan seakan-akan kaum borjuis, walaupun kurang mantap, dapat didorong ke dalam tindakan yang menentukan. Tetapi semakin lama revolusi berlangsung, kaum borjuis menjadi semakin takut dan lumpuh. Pada hari-hari bulan Juni semua kelas pengeksploitir, termasuk kaum borjuis dan sebagian besar dari juru bicara mereka yang demokratis, berbaris di pihak yang reaksioner. Marx dan Engels berkesimpulan bahwa hanya kelas yang dieksploitasi, kaum pekerja dan petani, yang dapat mendorong revolusi ke depan. Seperti yang Marx tulis dalam surat kabarnya, “Rheinische Zeitung”, yang mana para pendukung borjuisnya meninggalkannya, karena pendiriannya yang radikal:
“Kaum borjuasi Jerman berkembang dengan begitu melempem, sangat kecut hati, dan sangat lamban, sehingga merasa semakin terancam konfrontasi oleh kaum proletariat, dan segala bagian dari masyarakat kota yang berhubungan dengan proletariat…, sementara dirinya sedang mengancam konfrontasi dengan feodalisme dan absolutisme…Kaum borjuasi Prussia adalah bukan, seperti kaum borjuasi Perancis di tahun 1789, sebuah kelas yang mewakili keseluruhan dari masyarakat modern…Ia telah tenggelam ke dalam tingkatan semacam kelas yang egois dan sempit (estate)…yang dari permulaan cenderung mengkhianati rakyat…”
Dihadapkan dengan pengkhianatan kaum borjuis yang jauh lebih besar dari yang mula-mula diperkirakan, Marx dan Engels merubah analisis strategis mereka. Marx dan Engels sekarang berkesimpulan bahwa aksi yang independen dari kelas pekerja, dan sebuah pendirian yang lebih kritis mengenai isu-isu taktis dan juga teori, terhadap kaum borjuasi demokrat, adalah essensial. Penjelasan Marx mengenai sikap para pekerja kepada para demokrat adalah benar-benar relevan dengan situasi sekarang di Indonesia, sehingga perlu untuk dikutip secara penuh:
Para pekerja “harus mendorong usulan-usulan dari para demokrat kepada logika ekstrem mereka (kaum demokrat akan, dalam segala hal, bertindak idengan cara yang reformis dan tidak revolusioner) dan merubah usulan-usulan tersebut menjadi sebuah serangan langsung kepada hak milik pribadi. Kalau, sebagai misal, kaum borjuasi kecil mengusulkan pembelian perusahaan kereta api dan pabrik-pabrik, kaum pekerja harus menuntut agar perusahaan kereta api dan pabrik-pabrik ini secara langsung disita saja tanpa konpensasi sebagai milik dari kaum reaksioner. Kalau para demokrat mengusulkan sebuah pajak proporsional, maka para pekerja harus menuntut sebuah pajak progresif; kalau para demokrat mengusulkan suatu pajak progresif yang moderat, maka para pekerja harus menuntut sebuah pajak yang mana tarifnya begitu tinggi sehingga kapital yang besar akan hancur karenanya; kalau para demokrat menuntut adanya pengaturan dari hutang-hutang negara, maka para pekerja harus menuntut penghapusan hutang-hutang nasional.Tuntutan kaum pekerja, dengan demikian harus meradikalisasi ukuran dan konsesi dari kaum demokrat.”
Marx dan Engels tidak lagi puas dengan revolusi borjuis-demokratik. Mereka sudah mengajukan strategi transisional, yang mendorong revolusi demokratik beralih ke arah revolusi sosialis:
“Kaum pekerja Jerman…harus memberikan kontribusi sepenuhnya untuk kemenangan akhir mereka sendiri, dengan memperjelas apa kepentingan kelas mereka, dengan mengambil posisi politik mereka yang independen secepatnya, dengan tidak membiarkan diri mereka tersesat oleh omongan munafik kaum demokrat borjuis kecil yang dapat membuat mereka meragukan pentingnya organisasi partai yang independen dari kaum proletariat. Semboyan-tempur mereka haruslah: Revolusi Permanen.” (Bahasa Jermannya: Die Revolution in Permanenz.)

Lenin dan Trotsky dalam Revolusi Rusia
Dari argumentasi John Rees berdasarkan kutipan dari Marx, kita melihat bahwa konsep revolusi permanen tidak berasal dari Trotsky melainkan dari analisis Marx sendiri, berdasarkan pengalaman revolusi tahun 1848.
Semenjak peristiwa-peristiwa itu, umat manusia terus menyaksikan bahwa sistem kapitalis selalu berkembang secara sangat tidak merata. Demokrasi parlementer dan kemakmuran (relatif) buat kelas buruh di barat berjalan disamping penindasan imperialis, kediktatoran dan kesengsaraan di banyak negeri lainnya. Para kapitalis menanam modal mereka di negeri yang masih sedang berkembang seperti Indonesia, dan investasi itu telah memunculkan kelas buruh secara luas, tetapi di saat yang sama mereka menopang rezim-rezim represif.
Tapi disamping fenomena perkembangan tidak merata, kita juga menyaksikan fenomena perkembangan gabungan. Di tingkat global, kapitalisme sudah mencapai produktivitas kerja yang begitu tinggi dan alat-alat produksi yang begitu canggih sehingga secara obyektif sosialisme sudah mungkin diterapkan secara internasional. Namun di saat yang sama, tidak sedikit negeri yang masih hidup melarat — dan bahkan di barat tidak sedikit buruh yang juga hidup miskin. Dan unsur-unsur ilmu, tehnologi dan budaya dari barat masuk dunia ketiga secara terus-menerus, seperti internet misalnya.
Pada awal abad XX sebuah perkembangan yang kontradiktif semacam ini makin marak dalam kasus Rusia. Investasi dari luar menciptakan industri modern di beberapa tempat, terutama di ibukota Petrograd dan kota Moskow. Bahkan beberapa pabrik di sana lebih besar dan modern daripada banyak pabrik di barat, karena lebih baru dibangun. Dan kelas buruh di Rusia sempat belajar Marxisme dari sumber barat sehingga kaum buruh di Rusia tergolong yang paling sadar dan militan di seluruh dunia. Namun di samping unsur-unsur modern ini ada juga unsur-unsur feodal. Negara birokratik feodalis mencekik perekonomian dan masyarakat madani. Tuan tanah masih kuat, dan yang lebih celaka lagi, banyak wiraswastawan kapitalis harus meminjam modal dari tuan tanah sehingga bergantung kepada mereka, di samping ketergantungan pada sumber modal asing. Makanya kelas buruh yang agak modern dan sangat berpotensi untuk menghadapi kelas borjuis yang lemah dan pengecut, seperti kaum borjuis Jerman yang dilukiskan oleh Marx dan Engels pada tahun 1848.
Warga Rusia kebanyakan petani. Mereka menginginkan tanah.Melalui reform agraria yang seharusnya menjadi tujuan klasik dari revolusi borjuis-demokratik. Namun borjuasi sendiri tidak bisa diandalkan untuk melakukan reform semacam itu, karena justeru bergantung pada tuan-tuan tanah sebagai sumber modal.
Hampir semua orang sosialis di Rusia mengembangkan strategi tahapan, bahwa Rusia masih feodal dan belum membangun sistem kapitalis, oleh karena itu revolusi yang mereka cita-citakan harus menjadi revolusi demokratis bukan sosialis. Tetapi terdapat banyak perbedaan pendapat tentang strategi persis yang harus dijalankan. Kelompok Menshevik cenderung menyerahkan peran pemimpin dalam revolusi kepada pihak borjuis. Kelompok Bolsehvik mengajukan pendekatan yang lebih radikal: bahwa revolusi borjuis-demokratis tidak bisa dipimpin oleh borjuasi sendiri karena kelas kapitalis di Rusia terlalu lemah dan pengecut. Menurut mereka, kelas-kelas tertindaslah yang harus melakukan revolusi. Sehingga Lenin menajukan slogan: “diktatur demokratis-revolusioner kaum proletariat dan kaum tani” dan kedua kelas itu jelas akan menerapkan reformasi yang sangat luas (seperti “reformasi total” di Indonesia sekarang ini). Walaupun begitu, menurut Lenin revolusi yang radikal ini masih akan tetap bertahan dalam batasan kapitalis dan akan membuka jalan untuk perkembangan kapitalisme bertahun-tahun.
Dalam tulisannya “Dua Taktik Sosial-Demokrasi di dalam Revolusi Demokratik” Lenin mengutuk sebagai “reaksioner” segala upaya untuk “mencari keselamatan kelas buruh selain melewati perkembangan lebih lanjut dari kapitalisme.” Menurut dia (waktu itu) “Kaum Marxis yakin sekali bahwa revolusi Rusia harus bersifat borjuis. Artinya apa? Bahwa tuntutan-tuntutan demokratik implikasinya tidak merongrong kapitalisme atau merongrong kekuasaan borjuis; sebaliknya, mereka akan untuk pertama kalinya memberi jalan bagi borjuasi untuk … menjadi kelas penguasa.”
Tak pelak lagi bahwa yang dimaksudkan di sini adalah tahapan historis yang cukup panjang. Lenin tidak mengharapkan revolusi sosialis di Rusia sebelum terjadi perkembangan kapitalis yang luas.
Kedua pendekatan ini memusatkan perhatian terutama kepada perkembangan kapitalisme di dalam Rusia, di mana mode produksi kapitalis memang belum matang (secara keseluruhan). Hanya Trotsky yang mendesakkan cakrawala berpikir secara lebih luas dan yang betul-betul menyimak keadaan Rusia dalam konteks internasional. Berdasarkan pengalaman konkrit dalam revolusi tahun 1905 (di mana Trotsky muncul sebagai ketua dewan buruh di ibukota dan pemimpin terkemuka kelas buruh) dia melihat bahwa kelas buruh di Rusia sudah sangat maju organisasi dan kesadarannya karena dampak pertumbuhan industri (yang didorong oleh investasi asing) dan dampak teori Marxisme (yang juga berasal dari luar negeri). Sedangkan kelas borjuis sangat lemah dan pengecut (juga karena faktor internasional, yaitu mereka sangat bergantung pada modal asing). Sehingga kaum buruh dengan dukungan kaum tani memang harus merebut kekuasaan sendiri melalui jalan revolusi, seperti dikatakan Lenin. Tetapi setelah kelas buruh mulai berkuasa mereka tidak mungkin bisa merasa puas dengan reformasi yang masih dalam kerangka kapitalis, melainkan mereka pasti akan mengadakan perubahan yang mengarah ke sosialisme.
Apakah sosialisme itu bisa dibangun dalam sebuah negeri seperti Rusia, yang industri dan tatatan sosialnya masih separuh feodal? Menurut Trosky memang bisa, tapi dengan satu syarat yang sangatlah penting: revolusi harus meluas ke negeri-negeri barat supaya kelas buruh di barat bisa menolong kaum buruh Rusia untuk menjalankan sosialisme.
Persilihan antara para anggota Menshevik, Bolshevik dan Trotsky bertahan sampai di awal revolusi tahun 1917. Pada bulan Februari sebuah pemberontakan kelas buruh menjatuhkan Tsar dan menyalakan krisis politik yang menonjolkan beberapa sifat yang mirip dengan situasi di Indonesia saat ini. Yaitu kepala negara ditumbangkan, tetapi disusul oleh sebuah pemerintahan yang masih reaksioner walau berpura-pura demokratis. Setelah tumbangnya Tsar, ketiga teori tentang jalannya revolusi teruji dalam praktek. Kelompok Menshevik terus mengajukan strategi tahapan, bahwa kaum borjuislah yang harus memimpin revolusi. Sehingga mereka bersedia untuk mentolerir keberadaan pemerintahan transisi, walau dengan menuntut dilangsungkannya pemilu dan beberapa reform.
Sikap kelompok Bolshevik ternyata hampir sama. Saat itu Lenin belum kembali dari pengasingan, dan partai Bolshevik dipimpin oleh orang lain seperti Stalin. Mereka juga terus mempertahankan strategi tahapan, dengan menganggap revolusi yang tengah berjalan adalah revolusi demokratis saja. Sehingga para pimpinan Bolshevik itu mulai merenungkan apakah harus bersatu dengan partai Menshevik.
Pada bulan April Lenin akhirnya berhasil pulang ke Petrograd. Dan golongan Bolshevik sangat terperangah mendengar pendapatnya tentang apa yang harus dilakukan. Dalam beberapa surat dari luar negeri (“Surat-surat dari Jauh”) Lenin sudah mendesak agar kelas buruh harus mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan. Setibanya di Rusia, Lenin disambut oleh para pemimpan Bolsehevik setempat tidak hanya dengan salam hangat, tetapi juga dengan kerisauan yang besar. Para pemimpin Bolsehvik itu tampil berbicara dengan mengucapkan selamat datang, kemudian segera memperingatkan bahwa revolusi di Rusia adalah revolusi demokratis saja. Lenin saat itu sedang berdiri di atas sebuah balkon. Lenin tidak membalas komentar mereka sama sekali, malahan dia berpaling kepada massa buruh dan prajurit-prajurit yang berdiri di halaman di luar gedung, dan segera melontarkan argumentasi bahwa mereka harus mempersiapkan diri untuk mengambil alih kekuasaan dengan slogan “Semua kekuasaan kepada soviet (dewan-dewan buruh)”.
Karena argumentasinya, Lenin dituduh menjadi “Trotskis”. Tetapi secara lambat-laun dia berhasil meyakinkan para kader Bolshevik. Begitu Trotsky sendiri balik ke Petrograd, dia segera diundang untuk bergabung dalam partai Bolsehvik. Dan kedua tokoh terkenal itu bersekutu erat dalam sebuah revolusi yang betul-betul menempuh jalan sosialis.
Argumentasi Lenin itu dirumuskan secara ringkas dalam “Tesis-tesis April” yang menjadi sebuah dokumen historis dalam sejarah revolusi. Tulisan pendek ini merupakan pembetulan yang penting terhadap argumentasi lama yang dimuat dalam “Dua Taktik”. Walau Lenin masih memakai istilah “tahap pertama” dan “tahap kedua”, implikasinya jauh berbeda:
Sifat utama situasi Rusia saat ini adalah bahwa negara ini sedang beralih dari tahapan pertama revolusi — yang, disebabkan oleh kurangnya kesadaran-kelas dan organisasi kaum proletariat, telah menempatkan kekuasaan di tangan kaum borjuis — menuju tahapannya yang kedua, yang harus menempatkan kekuasaan di tangan kaum proletariat dan golongan-golongan termiskin kaum tani.
Revolusi memang sedang melalui dua tahapan, tetapi peralihannya ke tahapan sosialis sudah mulai dalam kurun waktu beberapa bulan. Tahap demokratis tidak lagi dianggap berkaitan dengan tahap panjang kapitalis yang tak terhindari. Sebaliknya, tahap demokratis ini hanya terpisah dari tahap sosialis karena “kurangnya kesadaran-kelas dan organisasi kaum proletariat” – yang sebagian besar tentunya disebabkan oleh kesalahan kaum revolusioner dengan strategi “dua taktik” mereka. Inilah yang memungkinkan para liberal borjuis untuk mengambil alih kekuasaan. Seandainya Partai Bolshevik memiliki strategi yang lebih tepat, akibat buruk itu bisa dihindari.
Lenin menegaskan pendapatnya ini dengan amat jelas. Dalam sebuah diskusi dia bertanya kepada para Bolshevik: “Kenapa kalian tidak merebut kekuasaan [pada bulan Februari]?” Ketika mereka menjawab dengan rumusan tradisional mengenai “”tahap pertama … tahap demokratis”, Lenin membalas dengan ketus: “Ini omong kosong. Sebabnya karena proletariat masih kurang sadar dan kurang terorganisir. Itu harus kita akui. Kekuataan materiil sudah berada di tangan proletariaat saat itu, tetapi borjuasilah yang sudah sadar dan siap. Itu kenyataan yang mengerikan. Fakta ini harus kita akui secara tulus, dan kita mesti menjelaskan kepada rakyat dengan terus-terang bahwa kita tidak merebut kekusaan karena tak terorganisir dan tak sadar.”
Yang harus diperjuangkan “bukanlah sebuah republik parlementer — untuk kembali dari soviet-soviet (dewan-dewan buruh) ke sebuah republik parlementer akan merupakan sebuah langkah mundur yang buruk — melainkan sebuah republik Soviet…” dan ini memang menjadi semboyan utama Partai Bolshevik menjelang Oktober.
Oktober 1917: Revolusi macam apa?
Tak pelak lagi bahwa secara garis besar, revolusi sosialis Oktober 1917 membenarkan teori Revolusi Permanen. Namun baru-baru ini muncul argumentasi baru dalam buku Doug Lorimer berjudul “Trotsky’s Theory of Revolution: A Leninist Critique”. Dalam buku tersebut Doug Lorimer berusaha menyelamatkan teori tahapan dengan beragumen bahwa Revolusi Oktober bukan revolusi sosialis melainkan revolusi demokratik, karena sampai bulan Oktober 1918 kaum tani masih menuntut bidang-bidang tanah swasta. Trotsky juga dituduh kurang memperhatikan peranan kelas petani dalam revolusi.
Ini tidak benar. Dalam tulisan utamanya tentang revolusi permanen Trotsky menulis:
Proletariat yang berkuasa akan berdiri di depan kaum tani sebagai pembebas. Dominasi kaum proletariat akan berarti bukan hanya persamaan hak demokratik, pemerintahan bebas, peralihan seluruh beban perpajakan ke bahu kelas-kelas kaya … tetapi juga pengakuan akan semua pengambil-alihan tanah yang dilakukan kaum tani. Proletariat akan membuat perubahan itu sebagai landasan untuk langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan oleh negara di bidang pertanian. Dalam keadaan semacam ini kaum tani Rusia, dalam periode pertama revolusi yang paling sulit, akan berkepentingan untuk mempertahankan rezim proletarian …
Trotsky memang berpendapat bahwa kelas petani tidak bisa memainkan peranan *independen*. Dalam hal ini dia sependapat dengan Marx dan Engels. Kaum tani selalu dipimpin oleh unsur-unsur urban. Bahkan dalam revolusi Maois di Cina, yang biasanya dianggap sebagai “revolusi petani”, sebenarnya yang menjadi kelas penguasa baru adalah unsur-unsur urban. Dalam revolusi Oktober di Rusia kaum tani dipimpin oleh kelas buruh, yang mendominasi soviet-soviet (dewan-dewan revolusioner).
Trotsky juga berpendapat bahwa kelas petani tidak bisa diandalkan secara keseluruhan, melainkan kaum buruh harus terutama berupaya untuk mengambil hati unsur-unsur proletarian (buruh tani, tani miskin) di pedesaan. Sedangkan Lenin (sebelum tahun 1917) percaya, kelas petani sebagai kelas independen akan bersekutu dengan kelas buruh. Doug Lorimer menganggap teori Lenin yang lama itu benar. Tapi teori ini justeru ditinggalkan oleh Lenin sendiri dalam Tesis-tesis April yang senada dengan pendapat Trotsky. Dalam tesis-tesis tersebut Lenin mengusulkan:
Nasionalisasi terhadap seluruh tanah di dalam negeri, tanah harus diatur oleh Soviet-soviet lokal yang terdiri atas Utusan-utusan Buruh Tani. [Kita memerlukan] organisasi terpisah Soviets yang terdiri atas Utusan-utusan Tani Miskin.
Doug Lorimer menuduh Trotsky meremehkan kelas petani, dan Doug Lorimer mengutip sebuah tulisan di mana Trotsky mengatakan, kelas petani akan “memalingkan wajahnya yang bermusuhan kepada proletariat” karena dalam revolusi sosialis, kolektivisme akan menjadi agenda utama dan kaum petani memiliki mentalitas borjuis kecil. Sedangkan waktu Revolusi Oktober kaum Bolsyevik masih menjunjung tinggi tuntutan kaum tani untuk mendapatkan bidang-bidang swasta. Sehingga Revolusi Oktober (menurut Doug Lorimer) bukanlah sebuah revolusi sosialis melainkan revolusi demokratik, dan baru beberapa waktu kemudian beralih ke tahap sosialis.
Argumentasi ini membingungkan. Tentu saja sebuah revolusi sosialis tidak akan menjungkirbalikkan semua tatanan sosial dalam sekali pukul. Ini sudah jelas dalam Manifesto Komunis, di mana Marx dan Engels menuliskan bahwa:
… langkah pertama dalam revolusi kelas buruh, adalah mengangkat proletariat pada kedudukan kelas yang berkuasa, memenangkan perjuangan demokrasi. Proletariat akan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merebut, selangkah demi selangkah, semua kapital dari borjuasi, memusatkan semua perkakas produksi ke dalam tangan Negara, artinya, proletariat yang terorganisasi sebagai kelas yang berkuasa; dan untuk meningkatkan jumlah tenaga-tenaga produktif secepat mungkin.
“Selangkah demi selangkah…” Untuk perubahan secara bertahap ini, Marx dan Engels mengajukan 10 reform radikal yang belum merupakan program sosialis lengkap, namun langkah-langkah ini jelas dimaksudkan sebagai tahap-tahap awal transformasi sosialis. Jadi fakta bahwa revolusi Bolsyevik bermula dengan langkah-langkah “transional” hanya membuktikan bahwa revolusi itu konsisten dengan perkembangan revolusi sosialis yang diharapkan oleh Marx sendiri.
Yang diramalkan Lenin pada tahun 1905 dalam tulisan “Dua Taktik” bukanlah tahapan-tahapan berukuran beberapa bulan melainkan sebuah tahapan historis. Dalam tulisan lama itu cukup jelas bahwa Lenin meramalkan tahapan panjang — antara revolusi demokratik borjuis yang akan “memberi jalan bagi borjuasi untuk menjadi kelas penguasa”, dan revolusi sosialis yang baru mungkin berdasarkan perkembangan kapitalis yang panjang. Sedangkan yang terjadi pada tahun 1917-1918 adalah peralihan cepat dan organik antara fase demokratik dan fase sosialis, secara “permanen” (atau “tak terinterupsi” jika kita memakai terminologi Lenin sendiri dalam pamfletnya “Revolusi Sosialis dan Kautsky si Pengkhianat” yang terbit pada tahun 1918). Justeru inilah yang diramalkan Trotsky. Dalam kurun waktu yang pendek, kolektivisasi memang menjadi agenda utama di Rusia, dan ketegangan antara kelas buruh dan kelas petani semakin meningkat. Sampai dalam perang sipil, sebagian besar dari kelas petani memang “memalingkan wajahnya yang bermusuhan kepada proletariat”.
Bagaimana menurut hemat para peserta revolusi sendiri? Di sini kita mempunyai bukti yang luar biasa bernilai, dalam buku seorang saksi mata, yaitu “Sepuluh Hari Yang Menggoncangkan Dunia” (Ten Days That Shook the World) oleh John Reed. Menurut Lenin sendiri (dalam kata pengantar yang ditulisnya untuk edisi pertama) buku ini memberi “eksposisi yang benar dan hidup tentang peristiwa-peristiwa yang begitu signifikan untuk mengerti apa sebenarnya Revolusi Proletarian dan Diktatur Proletariat.”
Kita mencatat: Lenin menyebut “diktatur proletariat”, bukan “diktatur demokratik kaum proletariat dan kaum tani”. Sekarang mari kita melihat isi dari “eksposi yang benar” ini. Pas setelah pemberontakan yang mengambil alih kekuasaan, Lenin tampil di soviet Petrograd:
Pukul 8:40 datangnya para presidium disinyalir dengan gelombang sorak-sorai yang bergemuruh. Di antara mereka datang Lenin — si Lenin yang besar … Mata kecil Lenin berkedip sambil mengelilingi massa, dia memegang pinggiran mimbar dan menunggu, tampaknya tidak menghiraukan sorak-sorai gemuruh panjang selama beberapa menit. Ketika tepuk tangan berhenti, dia mengatakan secara sederhana: ‘Sekarang kita akan maju membangun tatanan sosialis!’ Dan sekali lagi didengar sorak sorai massa…
Sepuluh hari kemudian, di pertemuan Komite Eksekutif Pusat Soviet Petrograd, Lenin mengatakan bahwa “Kita sudah melepaskan belenggu kapitalisme”. Kaum buruh sendiri memiliki harapan yang sama: misalnya Konferensi Se-Rusia Komite-Komite Pabrik menyatakan dukungan mereka terhadap soviet-soviet serta menegaskan:
Setelah membebaskan diri dari Tsarisme, kelas buruh ingin melihat rezim demokratik berjaya di bidang kegiatan produktif. Ini bisa diekspresikan dengan paling baik melalui kontrol kaum buruh atas produksi industrial…
Demokrasi di tempat-tempat kerja jelas memiliki implikasi sosialis.
Dan kaum tani? Walau harapan mereka untuk jangka pendek memang diarahkan untuk membagi-bagi tanah, namun mereka juga mengakui prinsip sosialis dalam revolusi. Kongres Petani di pertengahan bulan November menyetujui sebuah resolusi dengan suara bulat bahwa “persatuan bersahabat semua kaum pekerja dan tertindas … akan menkonsolidasi kekuasaan yang telah mereka menangkan … dan menjamin pencapaian perdamaian yang adil serta kemenangan sosialisme.”
Kemenangan sosialisme! Argumentasi Doug Lorimer tidak disokong fakta-fakta sejarah.
Bukti negatif: tragedi revolusi Cina tahun 1920-an.
Sejak wafatnya Lenin inti pelajarannya terlupakan. Hal itu berkaitan dengan nasib revolusi di Rusia, yang tidak berhasil meluas ke negeri-negeri yang lain, walau rezim Bolshevik serta partai-partai Komunis di Eropa barat memang melakukan banyak upaya ke arah itu. Sebagai akibatnya, rezim itu mengalami sebuah degenerasi yang parah, dan kekuasaan demokratis kelas buruh diganti dengan sebuah diktatur birokratis yang dipimpin oleh Stalin. Rezim Stalin pada gilirannya meninggalkan orientasi internasionalis Lenin dan Trotsky, dan partai-partai Komunis di mancanegara dijadikan alat pasif kebijakan luar negeri rezim Soviet. Sifat utama kebijakan luar negeri itu adalah untuk mencari aliansi dengan negara-negara lain — dengan rezim-rezim borjuis.
Maka Stalin menghidupkan kembali strategi tahapan, namun dengan alasan baru: partai-partai Komunis disuruh bersekutu dengan golongan borjuis tertentu (yang dianggap lebih “demokratis” atau “progresif”) demi kepentingan negara Soviet itu. Strategi lama Lenin itu dimanfa’atkan Stalin untuk membenarkan pendekatan yang sama sekali tidak revolusioner. Marxisme dan Leninisme telah diganti dengan “Stalinisme” kontra-revolusioner. Dan karena citra negara Rusia dan gerakan Komunis saat itu masih sangat tinggi, teori-teori stalinis sayangnya juga sangat berpengaruh pada orang lain yang bukan kontra-revolusioner.
Akibatnya tragis. Tahun 1927 terjadi pemberontakan kelas buruh di Cina, dan kaum buruh bersenjata di bawah pimpinan Komunis berhasil merebut seluruh kota Shanghai dari tangan golongan reaksioner. Tetapi mereka segera disuruh menyerahkan kekuasaan mereka kepada pihak nasionalis (borjuis), dengan argumentasi “tahap demokratis dulu”. Begitu mereka menyerahkan senjata-senjata kepada pemimpin nasionalis Ciang Kai-shek, kesatuan-kesatuan Komunis diserang dan dibantai oleh pasukan nasionalis.
Hal yang mirip juga terjadi di Spanyol pada tahun 1930-an, di Indonesia tahun 1965, dan di beberapa tempat lain. (Lihat tulisan Tony Cliff, “Revolusi dan Kontrarevolusi”.)
Revolusi permanen yang “terbelok”
Peristiwa tahun 1920-an di Cina mengkonfirmasikan kebenaran argumentasi Trotskys waktu itu. Akan tetapi, revolusi tahun 1949 juga melontarkan sejumlah masalah baru yang rumit. Teori Trotsky (seperti pandangan semua kaum Marxis sebelum Perang Dunia II) berdasarkan asumi bahwa kapitalisme tidak lagi mengandung potensi untuk berkembang. Jika kelas buruh tidak berhasil menumbangkan sistem kapitalis, umat manusia tidak bisa mengharapkan banyak kemajuan lagi. Di barat, ekonomi kapitalis akan terus tersesat. Di dunia ketiga, kemerdekaan nasional untuk rakyat-rakyat tertindas tidak bisa tercapai, masalah-masalah reform agraria tidak bisa dipecahkan, dan pada umumnya tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik tidak bisa dilaksanakan. Ramalan-ramalan ini jelas terbukti salah.
Di Cina, sebuah revolusi memang terjadi, tapi jangankan dipimpin kaum buruh, revolusi itu malah terjadi tanpa partisipasi kelas buruh. Reform-reform agraria memang terjadi, dan Cina menjadi merdeka. Revolusi Indonesia juga bisa melaksanakan sebagian dari apa yang biasanya dianggap revolusi borjuis demokratik. Tapi revolusi-revolusi semacam ini di dunia ketiga juga tidak dipimpin oleh kelas borjuis, melainkan oleh unsur-unsur dari kelas menengah seperti kaum intelektual, perwira-perwira militer, dan lain sebagainya.
Revolusi Indonesia tidak dipimpin oleh kaum kapitalis, juga tidak dipimpin oleh kelas buruh, melainkan oleh kaum terpelajar elit dan militer. Di masa paska revolusi, pemerintahan berada di tangan klik-klik politikus bourjuis-kecil yang korup, dan pemerintahan saat itu kurang stabil karena kelas kapitalis Indonesia terlalu lemah. Strategi ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk membangun perusahaan-perusahaan pribumi yang tangguh (seperti program “Benteng”) hanya dipermainkan oleh faksi-faksi sempit di Jakarta guna memperkaya diri sendiri. Akhirnya Soekarno memutuskan untuk menghilangkan demokrasi parlementer serta menggunakan aparatus negara untuk mendorong akumulasi modal. Perusahaan-perusahaan asing diambil alih, dan di bawah sistem “Demokrasi Terpimpin” para perwira militer ikut mengelola perusahaan-perusahaan tersebut. Partai-partai yang paling berasosiasi dengan pasar bebas dan para pedagang pribumi (PSI dan Masyumi) dilarang, dan Soekarno mengembar-gemborkan “Sosialisme ala Indonesia”. Sebetulnya “sosialisme” itu hanya semacam kapitalisme-negara.
(Meski begitu, PKI cenderung mendukung Soekarno dan menaruh harapan pada Soekarno. Karena PKI, berdasarkan strategi “revolusi demokratik”, menganut front persatuan bersama unsur-unsur borjuis yang dikira progresif. Akibatnya, militer semakin kuat dan PKI kehilangan independensinya. Ketika militer menyerang pada tahun 1965, PKI seperti lumpuh dan dihancurkan.)
Kapitalisme memang lemah di dunia ketiga, sehingga kelompok-kelompok elit borjuis-kecil suka menggunakan aparatus negara dan meminjam anasir-anasir dari sistem perencanaan ekonomi Soviet demi kepentingan pembangunan nasional. Mereka juga suka memakai retorika sosialis — dan ini tampaknya logis, bukankah Uni Soviet itu memang dikira “sosialis”? Di hadapan fenomena-fenomena ini, mayoritas kaum pendukung Trotsky mengambil kesimpulan menjelang tahun 1950, bahwa revolusi di Cina dan Vietnam merupakan semacam “revolusi permanen” walau dipimpin oleh orang-orang non-trotskyis — bahkan stalinis.
Tony Cliff putus dengan pendekatan “ortodoks-trotskyis” itu dan merumuskan analisis baru, yang disebutnya “deflected permanent revolution”. Intinya adalah, selama kelas buruh sendiri belum memiliki kesadaran revolusioner dan belum membangung partai-partai revolusioner berbasis massa, revolusi-revolusi anti-imperialis tidak bisa mencapai sosialisme. Tentu saja kita harus mendukung semua perjuangan anti-imperialis, namun kita juga harus membedakan antara revolusi nasional (seperti misalnya di Indonesia tahun 1940-an) yang mungkin menggunakan retorika sosialis, dengan revolusi sosialis yang sebenarnya.
Revolusi permanen dalam konteks Indonesia modern
Dewasi ini para penganut strategi tahapan di Indonesia bukanlah stalinis. Mereka adalah kawan-kawan revolusioner yang bersungguh-sungguh ingin memperjuangkan nasib rakyat dan kelas buruh. Tetapi sudah saatnya untuk meninjau kembali masalah-masalah strategis ini dan meninggalkan strategi tahapan yang telah menyebakan sejumlah kekalahan yang mengerikan.
Setiap proses revolusioner jelas berbeda, dan setiap revolusi akan melalui sejumlah tahapan. Pertanyaan yang kontroversial di sini adalah: apakah selalu harus ada dua tahapan yang tetap dan terpisah, atau sebuah proses berkesinambungan yang berkembang secara terus-menerus.
Pendapat bahwa setiap revolusi di dunia ketiga harus melalui dua tahapan yang tetap, sering berdasarkan wawasan bahwa perkembangan kapitalisme tidak merata. Negeri-negeri barat ekonominya serta sistem politiknya relatif maju, sedangkan ekonomi di Indonesia (umpamannya) masih melarat dan sistem politiknya korup. Perkembangan kapitalis memang tidak merata. Namun seperti diungkapkan oleh Trotsky dalam konteks Rusia masa lampau, wawasan tentang perkembangan tidak merata itu harus dilengkapi dengan konsep *perkembangan gabungan*. Menurut Trotsky:
Para makhluk hidup, tentu saja termasuk manusia, melalui tahapan-tahapan yang serupa sesuai dengan usia mereka. Untuk seorang anak normal yang berusia 5 tahun kita temukan sebuah korespondensi yang pasti antara berat badan, ukuran, dan organ-organ dalam. Tetapi sama sekali lain dengan kesadaran manusia. Berlawanan dengan anatomi dan fisiologi, psikologi — baik individual ataupun kolektif– dibedakan oleh kapasitas penyerapan yang luar biasa, fleksibilitas dan elastisitas … Psyche yang absortif dan fleksibel ini menganugerahkan atas para “organisma” sosial (lain daripada organisma nyata, yaitu biologis) sebuah variabilitas struktur internal yang luar biasa, sebagai prasyarat yang diperlukan bagi kemajuan sejarah. Dalam perkembangan bangsa-bangsa dan negara-negara, terutama yang kapitalis, tidak ada kesamaan maupun keteraturan. Tahapan peradaban yang berbeda, bahkan sama sekali berlawanan, saling mendekat dan bercampur baur dalam kehidupan bangsa dan negara yang sama.
Jangan kita lupakan bahwa keterbelakangan historis adalah sebuah konsep relatif. Di mana terdapat negara-negara yang terbelakang dan juga negara-negara yang progresif, terdapat pula saling mempengaruhi antara yang satu dengan lainnya; ada tekanan dari negara-negara progresif terhadap negara-negara terbelakang, ada kebutuhan bagi negara-negara terbelakang untuk menjajari negara-negara progresif, untuk meminjam pengetahuan dan teknologi mereka, dan lain-lainnya. Dalam cara ini muncullah tipe gabungan dari perkembangan: ciri-ciri keterbelakangan digabung dengan kata terakhir dalam teknik dan pemikiran dunia. Akhirnya negara-negara yang secara historis terbelakang, supaya lepas dari keterbelakangannya, seringkali terpaksa mendahului negara lain.
Walau ekonomi Indonesia pada umumnya melarat (di barat mana ada orang yang harus bekerja sebagai tukang becak), namun ada juga unsur-unsur yang modern: pesawat terbang, TV satelit, internet. Kedua fenomena ini bercampur baur pula: bukankah kita menyaksikan becak-becak di jalanan di depan warung internet, pedagang kaki lima di depan bandara? Walau demokrasi di Indonesia hanya bersifat demokrasi semu, namun setidaknya aspirasi demokratik dipegang oleh ratusan ribu warga Indonesia yang berani turun ke jalan untuk memperjuangkan demokrasi riil. Sedangkan di Amerika Serikat kemarin-kemarin ini, kita saksikan kepasifan para pemilih di depan gagalnya demokrasi dalam pemilihan presiden. Walau kelas buruh Indonesia masih lemah organisasi dan kesadarannya, namun perjuangan kaum buruh itu cukup eksplosif, sedangkan perjuangan buruh di barat seringkali berlangsung dalam jalur tradisional yang didominasi oleh kaum pejabat serikat buruh yang konservatif.
Kapitalisme di Indonesia masih lemah. Fakta ini mengakibatkan konsekuensi negatif tetapi juga positif. Jika disimak dari segi internasional, Indonesia merupakan mata yang terlemah dalam rangkaian kapitalis. Menurut Lenin, dalam kasus revolusi Rusia, “rantai putus pada sambungannya yang terlemah.” Itu bisa terjadi di Indonesia pula.
Jadi tidaklah benar bahwa masyarakat Indonesia kurang “matang” untuk memperjuangkan sosialisme dibandingkan dengan masyarakat barat. Kedua tipe masyarakat itu bersifat kontradiktif. Kontradiksi di dalam masyarakat Indonesia sudah menghasilkan sebuah gerakan mahasiswa yang menggoncangkan rezim Orde Baru. Kontradiksi itu juga membuka peluang untuk memasukkan unsur-unsur sosialis di dalam perjuangan rakyat. Namun sayangnya pendekatan kebanyakan kaum kiri Indonesia, yang ngotot pada konsep “revolusi demokratik dulu”, cenderung menghalangi penyuntikan tersebut.
Perbedaan pendapat antara (misalnya) Suara Sosialis dan PRD mengenai rangka teoretis untuk dunia ketiga pada umumnya. Logika teori dua tahapan yang diajukan oleh banyak kawan di Indonesia kira-kira sebagai berikut:
1. Kita berada dalam sebuah negeri yang belum demokratik, karena tugas-tugas revolusi borjuis belum diselesaikan.
2. Sebelum tugas-tugas itu diselesaikan, kelas buruh belum bisa memperjuangkan sosialisme, karena militer masih terlalu kuat dsb.
3. Maka kita harus membatasi kegiatan kita dalam rangka perjuangan demokratik. Begitu demokrasi tercapai, militer tidak lagi menjadi masalah. Dus menurut makalah kawan Wilson dari PRD di seminar di Solo pada bulan April 1999 (dikutip dari versi tulisan): “Ada beberapa hal yang positif bagi ABRI/TNI bila Dwi Fungsi dicabut, yaitu … ABRI/TNI tidak lagi akan berhadapan dengan rakyatnya sendiri karena ia mengabdi pada golongan atau kekuasaan tertentu.” [2] Implikasinya, militer bisa bersikap netral dalam konflik sosial di bawah sistem kapitalis.
4. Jadi kita akan cenderung mendukung para politikus borjuis-demokratik seperti Gus Dur. Itu sebabnya Ketua PRD, Budiman Sudjatmiko, pernah bilang: “Waktu ketemu Gus Dur, saya mengatakan mendukung pemerintahan Gus Dur”. Menurut dia, Gus Dur dan Mega “merupakan pemerintah legitimate karena terpilih secara lebih demokratis”. [3]
Artinya, kaum penganut stategi dua tahapan selalu dalam bahaya kompromi dengan para “reformis gadungan” bahkan dengan militer. (Bukan hanya PRD. Sebelum Lenin kembali ke Rusia pada bulan April 1917, kelompok Bolsyevik cenderung mendukung pemerintahan transisi dan mulai merenungkan apakah harus bersatu dengan kelompok Mensyevik.) Yang berpegang pada fakta bahwa kaum “reformis gadungan” adalah musuh bisa dituduh sebagai seorang “Trotskyis”, seperti Lenin waktu itu, dan kawan Muhammad Ma’ruf baru-baru ini. [4] Untunglah Lenin berhasil meyakinkan para kader Bolsyevik bahwa mereka harus menempuh jalan “revolusi tak terinterupsi” yang dalam praktek kurang-lebih sama dengen pendekatan Trotsky. Dan Lenin mengajak Trotsky bersatu dengan partai Bolsyevik.
Pada hemat kami:
1. Kita berada dalam masyarakat kapitalis. Masyarakat itu memang tidak demokratik, karena kapitalisme hanya menyajikan demokrasi semu. Tumbangnya Suharto memang harus diperjuangkan, tetapi itu tidak cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas demokrasi.
2. Demokrasi ala barat memang merupakan cara penindasan yang lebih halus, tetapi penindasan yang halus itu juga tidak mungkin di dunia ketiga, karena dunia ketiga tertindas oleh imperialisme. Militer bisa saja duduk di barak selama kekuasaan kaum borjuis tidak terancam, tapi militer itu akan segera bertindak jika perjuangan rakyat terlalu efektif — itu sudah kita saksikan di Chile pada tahun 1973. Sekarang ini, militer Australia sedang diberikan kewenangan untuk memeriksa warga-warga dalam kasus sipil tertentu.
3. Jadi tidak ada gunanya mengharapkan suatu “revolusi demokratik” di dalam sistem kapitalis. Perubahan-perubahan demokratik yang mungkin dalam rangka kapitalisme kebanyakan sudah terjadi pada tahun 1998-1999. Yang beruntung terutama kaum “reformis gadungan”. Tentu saja kita belum mampu melakukan revolusi sosialis, maka kita harus bertolak dari perjuangan demokratik dan normatif yang ada, tapi kita harus berusaha memasukkan unsur-unsur sosialis ke dalam propaganda kita.
4. Sehingga kita tidak boleh mendukung pemerintahan borjuis Gus Dur. Kita memang harus membela demokrasi (semu) yang ada, karena di dalam ruang gerak itu kita bisa berjuang dengan lebih efektif. Jadi, kalau militer mau melakukan kudeta, jelas kita melawan kudeta tersebut. Seperti kaum Bolsyevik melawan kudeta Kornilov di tahun 1917. Tetapi tanpa dukungan apapun terhadap Gus Dur sebagai politikus. Dan tanpa memberikan “legitimasi” kepada dia.
Tampaknya golongan-golangan kiri di Indonesia masih menonjolkan prasangka-prasangka buruk terhadap tradisi Trotskyis dan rumusan-rumusan “revolusi permanen”. Maka tidak perlu kita ngotot pada istilah-istilah tertentu. Mari kita gunakan istilah “revolusi tak terinterupsi” jika terminologi Lenin bisa lebih diterima. Pokoknya, revolusi kita tidak boleh terinterupsi dengan suatu tahapan “demokratik” yang hanya menguntungkan kaum borjuis.
Argumentasi ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ketidaksabaran, atau mentalitas ultra-kiri. Strategi kami bisa saja diterapkan dengan cara-cara sabar dan taktik-taktik halus. Tentu saja kita tidak bisa melakukan revolusi apa-apa dalam jangka pendek; yang penting bagi kaum kiri adalah mengembangkan suatu *orientasi teoretis yang tepat*. Tanpa orientasi yang benar, kaum kiri tidak bisa membangun suatu gerakan revolusioner yang efektif.
Metode “transisional” dalam perjuangan revolusioner
Bagaimana unsur-unsur sosialis bisa disuntikkan ke dalam perjuangan demokratik dan normatif?
Pertanyaan ini penting, karena di Indonesia saat ini, kita memang menghadapi sebuah dilema. Dari satu sisi, Indonesia sudah menjadi masyarakat kapitalis, dan telah terjerumus ke dalam krisis ekonomi yang khas kapitalis, sehingga secara obyektif sudah siap untuk revolusi sosialis. Seharusnya kita tidak puas lagi dengan tuntutan minimal tentang demokrasi liberal atau kenaikan upah. Namun di sisi lain, faktor subyektif sangatlah lemah. Kelas buruh dan rakyat pada umumnya takut akan istilah “sosialis” (sekaligus tidak mengerti apa itu sosialisme sebenarnya) dan gerakan revolusioner masih kecil, sehingga untuk mendengungkan slogan-slogan maksimal seperti “Sosialisme sekarang juga” tidak efektif. Kita harus mencari sebuah “jembatan” antara kedua kubu ini, dengan tuntutan-tuntutan transisional antara yang minimal dan yang maksimal.
Dalam revolusi di Rusia tahun 1917, kaum Bolshevik juga menaikkan slogan-slogan seperti “Peace, bread and land” — “Perdamaian [artinya: perang harus segera diselesaikan], pangan, tanah”. Sebuah tuntutan yang sangat konkrit dan bisa masuk akal setiap buruh atau petani, karena mereka sangat menderita dalam perang, sangat lapar, dan kaum tani sangat memerlukan tanah. Tetapi pemerintah borjuis tidak bisa memenuhi tuntutan tersebut.
Di tahun 1930-an Trotsky merumuskan Program Transisional, yang memang tidak sempurna — dan para pengikut Trotsky kadang-kadang memakai program itu dengan terlalu dogmatis. Tetapi prinsipnya bagus. Sekali lagi kita mulai dari kepentingan konkrit massa rakyat, sekaligus mencari, dalam kepentingan itu, unsur-unsur yang dari satu segi tampaknya sangat logis untuk semua orang — tetapi dari segi yang lain tidak akan dan tidak bisa dipenuhi oleh sistem kapitalis. Kita berjuang bersama massa untuk tuntutan itu. Mereka tidak mulai memperjuangkan tuntutan tersebut karena mau menuju ke sosialisme. Mungkin mereka belum setuju dengan sosialisme atau tidak tahu-menahu. Mereka berjuang demi kepentingan yang di depan mata. Tetapi dari awal kita menjelaskan, bahwa hanya dengan sosialisme tuntutan itu dapat tercapai. Dan dalam perjuangan bersama, kita mendiskusikan hal ini berulang-ulang, sampai mereka melihat dari pengalaman praktis bahwa cita-cita mereka tidak akan dipenuhi oleh Habibie ataupun Megawati, dan hanya bisa tercapai dengan revolusi sosialis.
John Rees sudah memberikan satu contoh dari slogan-slogan yang bisa dimajukan dalam konteks Indonesia:
Sebagai contoh, “Cabut Dwifungsi ABRI” harus selalu dikombinasikan dengan slogan “Potong anggaran militer, beri makan yang lapar”. Slogan yang kedua tetap menjadi sebuah “tuntutan yang demokratik” dalam beberapa hal, tetapi ia juga menaikkan isu-isu yang spesifik terhadap kelas pekerja dan mengkombinasikan mereka dengan suatu serangan terhadap negara, yang mana [para politisi liberal] akan enggan mendukungnya.
Sebagai contoh lain, slogan “Adili Suharto” telah digabungkan dengan slogan-slogan tambahan seperti “Nasionalisi perusahaan Suharto dan kroni-kroninya.” Ini tampaknya logis dan rada moderat, tetapi sebetulnya kebanyakan perusahaan para konglomerat adalah hasil KKN, sehingga tuntutan ini akan mengancam sistem kapitalis. Namun kita tidak boleh puas hanya dengan langkah ke depan ini, melainkan juga harus berusaha untuk terus meradikalisasi tuntuntan baru tersebut, misalnya dengan menambahkan: “nasionalisasi di bawah pengelolaan demokratis kaum pekerja.” Rasanya ini bisa diterima oleh (paling tidak) sebuah minoritas dari kaum aktivis buruh, karena sesuai dengan slogan “demokrasi” yang ada di lidah setiap politisi serta birokrat dewasa ini. Tetapi di saat yang sama, betul-betul mengarah ke revolusi sosialis. Begitu mereka mengaku setuju dengan tuntutan tersebut, kita mulai menjelaskan kepada mereka bahwa inilah yang dimaksudkan dengan istilah “sosialis”.
Makanya konsep-konsep masyarakat sosialis juga bisa disosialisikan dengan cara ini.
Kalau kita berdiri di depan gerbang pabrik dan meneriakkan semboyan-semboyan sosialis, jelas itu tidak ada gunanya sama sekali, bahkan sebaliknya: kaum buruh bisa takut dan kita sendiri bisa diciduk.
Tetapi kalau kita duduk-duduk di warung bersama beberapa buruh, dan kita memulai perbincangan tentang koperasi, mereka tidak akan takut. Koperasi adalah hal yang biasa saja, dan dianggap bagus oleh semua orang, termasuk Amien Rais, Adi Sasono, bahkan Habibie. Kenapa harus takut? Kemudian kita katakan: kalau koperasi itu bagus, kenapa semua ekonomi nasional tidak bisa dirubah menjadi koperasi dalam skala besar?
Bagaimana koperasi yang begitu besar bisa dikelola? Di sini kita mulai sekali lagi dari konsep demokrasi yang sangat populer itu.Mana ada politisi atau tokoh terkenal lainnya yang tidak mengaku pro-demokrasi? Pemerintah nasional harus demokratis. Nah, kalau pemerintah nasional (yang begitu besar dan luas) bisa menjadi demokratis, kenapa ekonomi kooperatif itu tidak bisa menjadi demokratis pula?
Atau mungkin kita berargumentasi begini: Tuntutun demokrasi adalah berkaitan erat dengan pencabutan dwifungsi ABRI.Pemerintahan harus diambil dari tangan para jenderal. Itu pendapat umum. Nah, prinsip itu kita kembangkan secara lebih luas. Para jendral juga memiliki banyak perusahaan. Kepemilikan itu berasal dari KKN. Sehingga logis saja kalau kita mentuntut agar perusahaan itu dinasionalisasi dan menjadi BUMN, artinya menjadi bagian dari pemerintahan. Terus argumentasi ini kita lanjutkan: jalan-jalan tol milik Tutut harus di nasionalisasi, IPTN juga…; Sehingga banyak perusahaan yang harus menjadi bagian dari pemerintahan. Tetapi pemerintahan harus demokratis, ya kan? Kalau begitu, BUMN juga harus demokratis, karena kita semua setuju dengan prinsip demokrasi. Demokrasi dalam sebuah perusahaan — bentuknya bagaimaina? Ya, sebaiknya para karyawanlah yang mengelola perusahaan itu secara demokratis, dengan memilih orang-orang yang dipercaya untuk menjadi “manajer”.
Dengan argumentasi semacam ini kita bisa menjelaskan prinsip-prinsip sosialisme secara konkrit. Balasan para aktivis buruh mungkin begini: “Idenya bagus, tapi pemerintah yang ada tidak akan mentolerir perubahan seperti itu.” Jawab kita: Ya, memang betul. Itu sebabnya kita butuhkan sebuah partai politik kaum buruh yang independen dan revolusioner.
Yang penting di sini bukan rinci-rincinya. Mungkin ada tuntutan lain yang lebih efektif, itu terserah kawan-kawan setempat. Yang penting adalah metodenya. Dalam setiap situasi, para revolusioner harus mencari peluang untuk mengambil tuntutan dan keluhan yang timbul secara spontan, dan melengkapi tuntutan-tuntutan tersebut dengan unsur-unsur tambahan yang membawa perjuangan dan kesadaran kaum aktivis buruh satu langkah ke depan.
Ke depan… tapi ke arah yang mana? Dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat tentang jalan yang harus ditempuh. Ini sebabnya diskusi sosialisme di dalam golongan revolusioner tidak boleh ditunda. Metode transisional dan strategi “revolusi permanen” memang berjalan setindak demi setindak, tapi dari awal menempuh jalan sosialis.



Featured Post

ASAS - ASAS HUKUM DI INDONESIA

Popular Post